Oleh Agus Nugroho
(Mahasiswa Kandidat Doktor Pendidikan Vokasi Universitas Pendidikan Indonesia)
(Mahasiswa Kandidat Doktor Pendidikan Vokasi Universitas Pendidikan Indonesia)
Pendidikan merupakan pilar utama dalam membentuk karakter, kompetensi, dan masa depan generasi muda. Namun, tantangan dalam dunia pendidikan saat ini kian kompleks, tidak hanya dari segi kurikulum atau teknologi, tetapi juga dari dinamika ekspektasi sosial, budaya, hingga tekanan politis. Artikel ini menguraikan tantangan tersebut dalam delapan bagian utama, sesuai dengan realitas yang dihadapi guru, siswa, dan institusi pendidikan di Indonesia. Beberapa isu yang menjadi tantangan saat ini khususnya didunia pendidikan dasar dan menengah diantaranya.
1. Guru dalam Bayang-Bayang Ekspektasi Tak Seimbang
Guru saat ini diharapkan mampu membentuk siswa secara utuh, padahal hanya sepertiga waktu siswa dihabiskan di sekolah. Menurut data UNESCO (2023), siswa usia sekolah menghabiskan rata-rata 6–7 jam per hari di sekolah, sementara 17–18 jam sisanya berada di rumah atau lingkungan sosial lain. Ketimpangan ini sering menyebabkan ekspektasi tak realistis terhadap guru, seolah seluruh pembentukan karakter dan kompetensi siswa menjadi tanggung jawab sekolah semata.
> “It takes a village to raise a child.” — Pepatah Afrika yang menggambarkan bahwa pendidikan bukan tugas satu pihak.
2. Pergeseran Nilai dan Intervensi dalam Dunia Pendidikan
Fenomena lain yang memprihatinkan adalah pergeseran nilai pendidikan akibat intervensi orangtua dan stakeholder pemerintahan. Banyak pihak lebih fokus pada bagaimana output nilai di raport dan ijazah terlihat baik, ketimbang proses pembelajaran itu sendiri. Tekanan ini bahkan memicu praktik tidak sehat, seperti "nilai katrol", agar terlihat berhasil.
Laporan Kemendikbudristek 2022 menyebutkan bahwa 42% guru pernah merasa ditekan oleh orangtua untuk menaikkan nilai anak mereka. Intervensi ini melemahkan fungsi evaluatif pendidikan.
3. Salah Kaprah Persepsi Nilai Tinggi = Anak Pintar
Persepsi umum di masyarakat masih menilai "kepintaran" anak dari angka di raport. Banyak orangtua dan bahkan kepala daerah mengukur keberhasilan pendidikan dari nilai Ujian Akhir dan IPM (Indeks Pembangunan Manusia).
Padahal, IPM hanya mencakup tiga indikator utama: umur harapan hidup, rata-rata lama sekolah, dan pendapatan per kapita. Tidak ada indikator tentang kecakapan hidup atau keterampilan abad 21. Ini menjadi tantangan besar bagi pendidik yang ingin menanamkan kompetensi esensial namun dibatasi oleh tekanan administratif nilai.
4. Industri Tak Lagi Melirik Ijazah, Tapi Keterampilan Nyata
Sementara itu, dunia kerja justru mengalami pergeseran yang signifikan. Survei World Economic Forum (2023) menunjukkan bahwa 80% perusahaan lebih mengutamakan soft skills seperti komunikasi, kerja sama tim, dan adaptasi, dibanding nilai akademik semata. Hal ini ditegaskan oleh LinkedIn Global Talent Trends 2022 yang menyebutkan bahwa “attitude” dan “adaptability” menjadi kunci utama rekrutmen modern.
Sayangnya, kurikulum dan sistem evaluasi di sekolah belum cukup adaptif untuk mendukung pengembangan keterampilan tersebut secara menyeluruh.
5. Guru dalam Dilema Antara Kejujuran dan Kepuasan Orangtua
Tak jarang guru mendapat intervensi langsung saat nilai siswa tidak sesuai harapan orangtua. Bahkan dalam kasus tertentu, ketika siswa tidak naik kelas, guru disalahkan dan diminta "memperbaiki keadaan" demi menghindari konflik atau pencemaran nama baik sekolah.
Hal ini menempatkan guru dalam posisi yang rentan secara psikologis dan profesional. Guru ingin menjunjung integritas, namun juga tidak ingin menciptakan masalah relasi dengan orangtua dan lembaga pendidikan.
6. KKM dan Tuntutan Administratif Sekolah
Standar minimal Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) sering kali ditetapkan sebagai patokan keberhasilan sekolah. Padahal, KKM seharusnya menjadi tolok ukur proses, bukan tujuan akhir. Akibatnya, banyak guru merasa terpaksa menaikkan nilai siswa agar memenuhi KKM, meskipun belum benar-benar menguasai materi.
Data dari Asosiasi Guru Indonesia (AGI, 2021) menunjukkan bahwa 57% guru menyatakan pernah diminta untuk “menyesuaikan nilai” agar sesuai target lembaga.
7. Kurangnya Pemetaan Potensi dan Fitrah Siswa
Sistem pendidikan masih menuntut burung untuk berenang dan ikan untuk memanjat. Kurangnya pemetaan potensi dan minat siswa menyebabkan banyak anak merasa tertekan dan kehilangan arah dalam belajar. Konsep pendidikan yang memanusiakan manusia — sesuai fitrah — masih sering diabaikan.
> “Setiap anak itu cerdas. Tapi jika Anda menilai ikan dari kemampuannya memanjat pohon, ia akan hidup dengan keyakinan bahwa ia bodoh.” – Albert Einstein
Sayangnya, asesmen bakat dan minat masih bersifat formalitas dan jarang digunakan sebagai dasar penyusunan strategi pembelajaran individual.
8. Kembali ke Tujuan Hakiki Pendidikan
Pada akhirnya, pendidikan tidak hanya soal nilai, ijazah, atau peringkat. Pendidikan sejatinya menyiapkan manusia agar siap hidup dalam zamannya. Dunia yang berubah cepat menuntut sistem pendidikan yang lentur, manusiawi, dan berpihak pada pertumbuhan jati diri anak.
Sebagaimana amanat Ki Hajar Dewantara:
> "Pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya."
Penutup
Tantangan dunia pendidikan saat ini memerlukan refleksi menyeluruh, bukan hanya oleh guru dan sekolah, tetapi seluruh elemen bangsa. Perubahan paradigma — dari nilai ke karakter, dari ijazah ke keterampilan — harus menjadi agenda nasional. Kita perlu kembali pada esensi pendidikan: membentuk manusia seutuhnya, bukan sekadar mencetak angka.
Referensi:
1. UNESCO Institute for Statistics. (2023). Time Use and Learning Hours for Students
2. Kemendikbudristek. (2022). Survei Nasional Guru dan Orangtua
3. World Economic Forum. (2023). Future of Jobs Report
4. LinkedIn Global Talent Trends. (2022). What Companies Want from Talent
5. AGI - Asosiasi Guru Indonesia. (2021). Laporan Praktik Nilai Katrol di Sekolah-sekolah Indonesia
Masya Allah daging banget ini ilmunya.. Jazaakumulloh Coach
ReplyDelete