![]() |
| Sumber : pixabay |
Di suatu malam yang dingin di masa lalu, Ahmad -seorang budak korporat- pulang larut malam. Dengan beban pekerjaan dari kantor tempatnya bekerja yang belum terselesaikan, menambah berat untuk sekedar menggoreskan senyum di bibirnya. Di suatu jalan komplek menuju rumahnya, ia melewati sekumpulan bapak-bapak yang sedang melaksanakan ronda di sebuah gardu. Ada yang sedang membakar singkong, ada pula yang sedang bermain domino. Gelak tawa mereka memecah keheningan, tawa yang sangat lepas, tanpa beban dibaliknya. Sedangkan Ahmad, sisa-sisa laporan pekerjaan masih menguasai pikirannya. Terlintas di benaknya;
“Aku kenal mereka semua, aku tau pekerjaan mereka. Dua orang security komplek yang berpenghasilan separuh di bawah UMR kota, seorang ojol, dan seorang lagi buruh toko bangunan. Kenapa mereka bisa tertawa begitu lepas? Kenapa aku yang berpenghasilan lebih justru sebaliknya? Kadang aku tertawa namun seolah memendam luka. Status pekerjaanku diidamkan banyak orang. Lalu kenapa aku tak bisa merasa Bahagia?"
Ahmad terus merenunginya, waktu demi waktu, momen demi momen, hingga pada titik ia harus mencari kebahagiaan itu.
Leo Tolstoy pernah menulis dalam novelnya yang berjudul Anna Karenina;
“Semua keluarga bahagia itu sama saja. Tapi keluarga yang tidak Bahagia, mereka tidak Bahagia dengan cara mereka masing-masing”.
![]() |
| Sumber : russia beyond |
Keadaan bahagia dalam sebuah keluarga mungkin lazim kita gambarkan sebagai sebuah keluarga yang berkecukupan, memiliki anak-anak yang sehat dan tak bermasalah dengan pergaulannya. Sang ayah memiliki pekerjaan bagus dengan penghasilan baik. Sang istri menikmati perannya sebagai seorang istri dan ibu yang baik, serta lingkungan tempat tinggal yang baik pula. Yap, kebanyakan dari kita mungkin berpikiran sama tentang definisi keluarga bahagia, simple bukan? Bandingkan dengan ribuan cara rumit yang dimiliki keluarga yang tidak Bahagia. Mereka memiliki faktor ketidak-bahagiaan masing-masing, mungkin ada yang orang tuanya bercerai karena ekonomi, atau ekonomi dalam keadaan baik namun sang ayah terjerat tindak pidana? Atau anak yang bermasalah dengan pergaulannya? Anggota keluarga terjerat judi online, pinjol? Kurang harmonis hubungan antara anggota keluarga yang sibuk dengan urusan masing-masing? Atau mungkin sebuah keluarga sukses dalam karir, namun belum memiliki keturunan yang selalu menghadirkan buah pertanyaan dari keluarga besar; “kamu masih belum punya anak”. Bahkan ada sebuah keluarga, dengan ekonomi baik, yang berkumpul di ruang tamu, namun sibuk dengan gadgetnya masing-masing, tanpa komunikasi, tanpa kasih sayang. Dan ribuan cara lagi bagi seseorang atau sebuah keluarga untuk merasa tidak bahagia.
Apa itu Bahagia ?
Mungkin saat ini terlintas di benak kita adalah uang yang akan membahagiakan keluarga dan diri kita. Mungkin juga terlintas liburan ke pulau Bali bersama keluarga, akan membuat bahagia. Terkadang kita buta, standar apa yang membuat kita bahagia. Melainkan sekedar bermain monopoli bersama keluarga kecil kita di ruang tamu yang sempit, tanpa kita sadari hal sederhana itu membuat keluarga kita merasa bahagia.
Bahagia, sebuah kata indah yang sederhana. Menyadarkan kita, bahwa bahagia itu memang sederhana. Hal sederhana, maka sudah selayaknya dipadu-padankan dengan standar sederhana; yaitu “cukup”. Terdengar terlalu sederhana, namun apakah mudah untuk diraih setiap orang? Jawabannya adalah "iya". Namun,kebanyakan orang tidak mau memilih "cukup" untuk menjadi standar bahagianya. Kebanyakan kita selalu memilih dan mengharap untuk "lebih";
"Lebih percaya smartphone keluaran terbaru akan membuatnya bahagia, ingin kendaraan yang lebih keren dari milik rekan kerja, ingin model rumah yang lebih mewah dari tetangga".
Padahal jika kita memakai standar "cukup";
"Cukuplah rumah tuk berteduh dan berkumpul keluarga. Cukuplah badan kita dan keluarga sehat. Cukuplah waktu bersama keluarga. Niscaya, bahagia bukan lagi sekedar kata".
Arti Bahagia Seseorang
Pernah suatu waktu, Kamila -anak bungsu Ahmad- yang masih duduk di bangku kelas 5 SD, bersama dengan beberapa teman sekelasnya mereka berkumpul. Mereka berbagi harapan, angan-angan yang mereka idamkan. Kamila mengungkapkan, harapannya adalah memiliki banyak uang, karena mungkin selama ini Kamila merasa uang saku nya kurang. Meskipun sebenarnya itu cukup untuk membeli kudapan dan jajanan bagi anak seumur dia. Yang merasa kurang dengan tiga pasang Sepatu yang masih sangat cukup layak menemani aktifitas kesehariannya. Hingga tiba giliran Putri, teman sekelas Kamila yang berasal dari keluarga berada, dengan uang saku bulanan setara UMR Kota Bandung. Memakai Sepatu yang hanya dibeli di official store. Mengungkapkan harapan ingin memiliki ayah seperti ayah Kamila, yang selalu menemani bermain atau belajar saat pulang kerja, yang selalu mempunyai waktu untuk dekat dengan anaknya, selalu menyempatkan diri untuk sekedar ngobrol ringan tentang keseharian anak-nya. Ingin memilki ibu seperti ibu Kamila, yang selalu mengantar-jemput sekolah walaupun ketika hari hujan. Selalu mengontrol pekerjaan rumah dan jadwal pelajaran anaknya. Meskipun galak, namun selalu ada menemani Kamila. Berbanding terbalik dengan keluarga Putri. Yang setiap malam hanya sibuk dengan gadget masing-masing. Ayahnya sibuk dengan game Mobile Legend-nya, ibunya sibuk dengan konten medsos nya.
Terkadang, hal yang menurut kita adalah hal sederhana dan sangat biasa, adalah hal yang di idamkan dan sangat sulit diraih oleh orang lain.
Bahagia Adalah Pilihan
Sering kita dengar ungkapan:
“Jika seseorang membakar rumahmu, akankah kamu mengejar pelakunya? Atau kau padamkan api nya?”
Dari sini dapat kita ambil kesimpulan, bahwa bahagia adalah pilihan. Apakah kita mau menyelamatkan rumah kita yang digerogoti api dengan mengabaikan penyerang demi menyelamatkan keluarga bahagia kita? Atau mau memburu penyerang dengan mengabaikan kebahagiaan keluarga dengan mementingkan amarah?
Bagaimanapun keadaan kita, baik itu ekonomi, keluarga maupun lingkungan sosial. Sudah sepatutnya kita tetap memilih untuk berbahagia. Karena itu adalah hak yang dimiliki setiap insan manusia;
"Hak Suami dibahagiakan oleh istri - Hak istri dibahagiakan oleh suami
Hak anak dibahagiakan oleh orang tua - Hak orang tua dibahagiakan oleh anak
Dan anda berhak membahagiakan diri anda sendiri"
- Agus Prasetyo


Post a Comment for "Kita Berhak Bahagia"